Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Penerapan paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum dalam UU nomor 24 tahun 2008

            Definisi pornografi dalam undang-undang pornografi nomor 44 tahun 2008 pasal 1 adalah gambar, seketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau ekspolitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi bukanlah merupakan permasalahan yang baru. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat sekarang ini tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak hanya menimbulkan dampak positif saja namun juga menimbulkan dampak negatif yang mengarah kepada meningkatnya tindak pidana atau kriminalitas, terutama tindak pidana pomografi. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya internet yang menyajikan situs-situs porno, merebaknya produksi VCD porno, juga media massa dan media elektronik yang sering memuat berita, cerita, dan gambar-gambar yang dapat menimbulkan gairah bagi orang yang melihatnya.
Di tengah keprihatinan akan merebaknya praktik pornografi-pornoaksi berikut segala dampaknya, pemberlakukan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ternyata tidak lantas mendapat sambutan positif dari masyarakat. Malah kontroversi seputar disahkannya Undang-Undang Pornografi (UU Pornografi) oleh DPR pada 26 November 2008 terus menjadi isu panas. Kontroversi tentang UU pornografi begitu tajam seolah membelah masyarakat menjadi dua kubu, kubu yang menerima dan kubu yang menolak. Barangkali ada pula kubu yang tidak peduli, bahkan ada yang secara diam-diam menolak karena sangat menikmati keberadaan pornografi dan pornoaksi yang bersahabat kental dengan seksualitas, konsumerisme, dan lain-lain.  Dari kubu yang mendukung lahirnya terhadap UU Pornografi ini, khususnya dari kalangan tokoh masyarakat dan kaum agamawan, beralasan bahwa keberadaan pornografi dan pornoaksi telah berdampak buruk bagi moralitas bangsa, khususnya moralitas generasi muda. Di tengah kecenderungan terjadinya perubahan sikap dan pola perilaku generasi muda yang cenderung semakin permisif, tentu sangat riskan jika terus dihadirkan berbagai media, panggung dan lingkungan yang menawarkan kebebasan tanpa kendali dalam skala yang paling ekstrem. Pornografi dianggap sudah perlu disikapi dengan undang-undang agar pembebasan moralitas bangsa dari hal-hal negatif seperti pornografi, dapat segera diraih.
Sedangkan, dari kubu yang menolak kehadiran UU Pornografi ini, khususnya dari kalangan perempuan aktivis, LSM dan budayawan dan/atau seniman serta sebagian kalangan pers, senantiasa mengajukan beragam alasan. Pertama, alasan yang sangat klasik, yaitu terhadap UU Pornografi membatasi ruang kreasi seni dan kebebasan berekspresi masyarakat. Alasan kedua, terhadap UU Pornografi bertentangan dengan adat istiadat dan budaya bangsa yang majemuk. Bila ditarik garis lurus, UU Pornografi menabrak adat istiadat sebagian suku seperti Bali dan Papua. Ketiga, UU Pornografi secara langsung mempertontonkan bentuk intervensi negara terhadap ruang privat warga negara, seperti mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan; paha, dada dan pusar, dan domain pribadi lainnya. Keempat, UU Pornografi sangat diskriminasi terhadap perempuan. Karena seksualitas dan sensualitas sangat melekat pada kaum berjenis kelamin perempuan.

Maraknya pornografi di masyarakat sejak beberapa dekade ini memang sangat meresahkan. VCD dan produk-produk bermuatan pronografi beredar dengan begitu bebas. Padahal, dulu pornografi dianggap suatu hal yang tabu dan tidak patut beredar secara umum dimasyarakat luas. Namun sekarang, munculnya ponografi diberbagai media komunikasi seperti dilegalkan. Dari hal tersebut sangatlah terlihat bahwa dalam masyarakat tersebut terjadi adanya perubahan sosial. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Selo Soemardjan).
Perubahan sosial terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Yang dimaksud faktor internal adalah faktor yang berasal dari masyrakat itu sendiri, sedangkan factor eksternal adalah factor yang berasla dari luar masyarakat. Yang termasuk factor internal adalah penemuan-penemuan baru, perubahan jumlah penduduk, dan konflik dalam masyarakat. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah bencana alam, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Dalam hal kasus pornografi faktor yang mempengaruhinya diantranya adalah penemuan-penemuan baru, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Penemuan baru berupa habdphone (HP) dan dilengkapi dengan adanya internet, memudahkan siapa saja mengakses segala bentuk informasi apapun tanpa adanya aling-aling.
Saat ini, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja, penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Siapa pun yang masih memiliki hati nurani pasti resah melihat situasi seperti ini. DPR kemudian membentuk Panja (Panitia Kerja) untuk menyusun RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) pada tahun 2005, yang kemudian diperbarui menjadi RUU Pornografi. Dan pada tanggal 26 November 2008 RUU Pornografi ini disahkan menjadi undang-undang (UU) Pornografi.
Hubungan perubahan sosial dan sektor hukum  merupakan hubungan interaksi atau timbal balik, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum sementara dipihak lain perubahan hukum juga berpengaruh terhadap perubahan sosial. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkannya sekurang-kurangnya terdapat dua paradigm atau cara pandang ilmiah. Yaitu paradigma hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat dan hukum sebagai alat untk melakukan rekayasa sosial.
Munculnya UU pornografi ini karena keresahan para masyarakat terhadap kasus pornografi yang semakin merajalela dan pemerintah merespon dengan membuat UU tentang kasus tersebut. Dari hal ini terlihat bahwa paradigma yang terjadi dalam kasus ini adalah paradigm hukum sebagai alat untuk melayani kebutuhan masyarakat. Hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Kebutuhan akan undang-undang yang baru misalnya adalah nampak jelas dalam paradigm ini. Lajunya perubahan social yang membawa dampak pada munculnya persoalan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa perundang-undangan.
Namun, bila kita melihat dari sisi lain bahwa pemerintah memandang tindak pornografi  yang tengah terjadi sudah tidak bisa ditolerir lagi dan berupaya untuk menghentikannya dengan cara membuat UU pornografi tersebut, paradigma yang terjadi adalah hukum sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial. Inti dari paradigm ini adalah hukum diciptakan untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalan hukum yang dimungkinkan akan muncul. Persoalan hukum yang diprediksi akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Salah satu ciri paradigma ini adalah hukum berorientasi masa depan. Dilihat dari salah satu tujuan UU pornografi adalah mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, pemerintah bermaksud mengantisipasi sesuatu hal yang mungkin terjadi di masa depan dengan menggunakan undang-undang.
Analisis UU nomor 24 tahun 2008 pada pasal 6 yang berbunyi “Setiap  orang  dilarang memperdengarkan,  mempertontonkan,  memanfaatkan,  memiliki, atau  menyimpan  produk  pornografi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  4  ayat  (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.” Pada kalimat “kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan” ini menurut saya masih tidak jelas. Misalnya ada seorang pria dan wanita membuat video atau foto porno lalu kemungkinannya pertama dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang. Lalu kemngkinan kedua apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
Dalam pasal 8 yang berbunyi “Setiap  orang  dilarang  dengan  sengaja  atau  atas  persetujuan  dirinya  menjadi  objek  atau model yang mengandung muatan pornografi.” Kalimat “dengan sengaja” ini meurut kami dalam menganalisis tindak pidana sangatlah rumit, susah untuk menentukan sikap batiniah (niat) dari seorang pelaku.

Referensi:
Ni’mah, Zulfaun. Sosiologi Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Teras:2012
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta. Raja Grafindo:2007
Undang-Undang nomor 24 tahun 2008
Nonka, Tutik. UU pornografi mengancam atau melindungi. Diakses pada 5 November 2015, pukul 13.28 dalam http://UU Pornografi, Mengancam Atau Melindungi  _ Tuti Nonka's Veranda.htm
Fazrin. Pro Kontra Seputar UU Pornografi. Diakses pada 5 November 2015, pukul 13.32 dalam https://fazrin.wordpress.com/2009/02/02/pro-kontra-seputar-uu-pornografi/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS