Definisi pornografi
dalam undang-undang pornografi nomor 44 tahun 2008 pasal 1 adalah gambar,
seketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan
atau ekspolitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi
bukanlah merupakan permasalahan yang baru. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sangat pesat sekarang ini tidak bisa dipungkiri bahwa setiap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak hanya menimbulkan dampak
positif saja namun juga menimbulkan dampak negatif yang mengarah kepada
meningkatnya tindak pidana atau kriminalitas, terutama tindak pidana pomografi.
Hal ini dapat kita lihat dengan adanya internet yang menyajikan situs-situs porno,
merebaknya produksi VCD porno, juga media massa dan media elektronik yang
sering memuat berita, cerita, dan gambar-gambar yang dapat menimbulkan gairah
bagi orang yang melihatnya.
Di tengah keprihatinan akan
merebaknya praktik pornografi-pornoaksi berikut segala dampaknya, pemberlakukan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ternyata tidak lantas mendapat
sambutan positif dari masyarakat. Malah kontroversi seputar disahkannya
Undang-Undang Pornografi (UU Pornografi) oleh DPR pada 26 November 2008 terus menjadi
isu panas. Kontroversi tentang UU pornografi begitu tajam seolah membelah
masyarakat menjadi dua kubu, kubu yang menerima dan kubu yang menolak.
Barangkali ada pula kubu yang tidak peduli, bahkan ada yang secara diam-diam
menolak karena sangat menikmati keberadaan pornografi dan pornoaksi yang bersahabat
kental dengan seksualitas, konsumerisme, dan lain-lain. Dari kubu yang mendukung lahirnya terhadap UU
Pornografi ini, khususnya dari kalangan tokoh masyarakat dan kaum agamawan, beralasan
bahwa keberadaan pornografi dan pornoaksi telah berdampak buruk bagi moralitas
bangsa, khususnya moralitas generasi muda. Di tengah kecenderungan terjadinya
perubahan sikap dan pola perilaku generasi muda yang cenderung semakin
permisif, tentu sangat riskan jika terus dihadirkan berbagai media, panggung
dan lingkungan yang menawarkan kebebasan tanpa kendali dalam skala yang paling
ekstrem. Pornografi dianggap sudah perlu disikapi dengan undang-undang agar
pembebasan moralitas bangsa dari hal-hal negatif seperti pornografi, dapat
segera diraih.
Sedangkan, dari kubu yang menolak kehadiran UU Pornografi
ini, khususnya dari kalangan perempuan aktivis, LSM dan budayawan dan/atau seniman
serta sebagian kalangan pers, senantiasa mengajukan beragam alasan. Pertama,
alasan yang sangat klasik, yaitu terhadap UU Pornografi membatasi ruang kreasi seni
dan kebebasan berekspresi masyarakat. Alasan kedua, terhadap UU Pornografi
bertentangan dengan adat istiadat dan budaya bangsa yang majemuk. Bila ditarik garis
lurus, UU Pornografi menabrak adat istiadat sebagian suku seperti Bali dan
Papua. Ketiga, UU Pornografi secara langsung mempertontonkan bentuk intervensi
negara terhadap ruang privat warga negara, seperti mengatur masalah pakaian dan
tubuh perempuan; paha, dada dan pusar, dan domain pribadi lainnya. Keempat, UU Pornografi
sangat diskriminasi terhadap perempuan. Karena seksualitas dan sensualitas sangat
melekat pada kaum berjenis kelamin perempuan.
Maraknya pornografi di masyarakat sejak beberapa dekade ini memang sangat
meresahkan. VCD dan produk-produk bermuatan pronografi beredar dengan begitu
bebas. Padahal, dulu pornografi dianggap suatu hal yang tabu dan tidak patut
beredar secara umum dimasyarakat luas. Namun sekarang, munculnya ponografi
diberbagai media komunikasi seperti dilegalkan. Dari hal tersebut sangatlah
terlihat bahwa dalam masyarakat tersebut terjadi adanya perubahan sosial. Perubahan
sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok
dalam masyarakat (Selo Soemardjan).
Perubahan sosial terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi faktor
internal dan faktor eksternal. Yang dimaksud faktor internal adalah faktor yang
berasal dari masyrakat itu sendiri, sedangkan factor eksternal adalah factor yang
berasla dari luar masyarakat. Yang termasuk factor internal adalah
penemuan-penemuan baru, perubahan jumlah penduduk, dan konflik dalam
masyarakat. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah bencana alam,
peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Dalam hal kasus pornografi faktor yang mempengaruhinya diantranya
adalah penemuan-penemuan baru, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Penemuan
baru berupa habdphone (HP) dan dilengkapi dengan adanya internet, memudahkan
siapa saja mengakses segala bentuk informasi apapun tanpa adanya aling-aling.
Saat ini, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa
dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang
pada gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja,
penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan
nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Siapa pun yang masih memiliki hati nurani pasti resah
melihat situasi seperti ini. DPR kemudian membentuk Panja (Panitia Kerja) untuk
menyusun RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) pada tahun 2005, yang kemudian
diperbarui menjadi RUU Pornografi. Dan pada tanggal 26 November 2008 RUU
Pornografi ini disahkan menjadi undang-undang (UU) Pornografi.
Hubungan perubahan sosial dan sektor hukum merupakan hubungan interaksi atau timbal
balik, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan sektor
hukum sementara dipihak lain perubahan hukum juga berpengaruh terhadap
perubahan sosial. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkannya
sekurang-kurangnya terdapat dua paradigm atau cara pandang ilmiah. Yaitu paradigma
hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat dan hukum sebagai alat untk
melakukan rekayasa sosial.
Munculnya UU pornografi ini karena
keresahan para masyarakat terhadap kasus pornografi yang semakin merajalela dan
pemerintah merespon dengan membuat UU tentang kasus tersebut. Dari hal ini
terlihat bahwa paradigma yang terjadi dalam kasus ini adalah paradigm hukum
sebagai alat untuk melayani kebutuhan masyarakat. Hukum akan bergerak cepat
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Kebutuhan akan undang-undang
yang baru misalnya adalah nampak jelas dalam paradigm ini. Lajunya perubahan social
yang membawa dampak pada munculnya persoalan hukum tidak serta merta diikuti
dengan kebutuhan secara langsung berupa perundang-undangan.
Namun, bila kita melihat
dari sisi lain bahwa pemerintah memandang tindak pornografi yang tengah terjadi sudah tidak bisa
ditolerir lagi dan berupaya untuk menghentikannya dengan cara membuat UU
pornografi tersebut, paradigma yang terjadi adalah hukum sebagai alat untuk
melakukan rekayasa sosial. Inti dari paradigm ini adalah hukum diciptakan untuk
mengantisipasi atau menghadapi persoalan hukum yang dimungkinkan akan muncul. Persoalan
hukum yang diprediksi akan datang dihadapi dengan merencanakan atau
mempersiapkan secara matang misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Salah
satu ciri paradigma ini adalah hukum berorientasi masa depan. Dilihat dari
salah satu tujuan UU pornografi adalah mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi
seks di masyarakat, pemerintah bermaksud mengantisipasi sesuatu hal yang
mungkin terjadi di masa depan dengan menggunakan undang-undang.
Analisis UU nomor 24 tahun 2008 pada pasal 6 yang berbunyi “Setiap orang
dilarang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan
produk pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh
peraturan perundang-undangan.” Pada kalimat “kecuali yang diberi kewenangan
oleh peraturan perundang-undangan” ini menurut saya masih tidak jelas. Misalnya
ada seorang pria dan wanita membuat video atau foto porno lalu kemungkinannya
pertama dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih
dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian
yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Secara
teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan
dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu,
secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila
pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang. Lalu
kemngkinan kedua apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan
terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
Dalam pasal 8 yang berbunyi “Setiap
orang dilarang dengan
sengaja atau atas
persetujuan dirinya menjadi
objek atau model yang mengandung
muatan pornografi.” Kalimat “dengan sengaja” ini meurut kami dalam menganalisis
tindak pidana sangatlah rumit, susah untuk menentukan sikap batiniah (niat)
dari seorang pelaku.
Referensi:
Ni’mah, Zulfaun. Sosiologi Sebuah Pengantar. Yogyakarta.
Teras:2012
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta.
Raja Grafindo:2007
Undang-Undang nomor 24 tahun 2008
Nonka, Tutik. UU pornografi mengancam atau melindungi. Diakses
pada 5 November 2015, pukul 13.28 dalam http://UU Pornografi, Mengancam Atau
Melindungi _ Tuti Nonka's Veranda.htm
Fazrin. Pro Kontra Seputar UU Pornografi. Diakses pada 5
November 2015, pukul 13.32 dalam https://fazrin.wordpress.com/2009/02/02/pro-kontra-seputar-uu-pornografi/